Oleh DASAM SYAMSUDIN
“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”
Q.S. al-Fatihah: 2
Lapadz “alhamdu” (di tulis dalam bahasa Arab), selalu dihartikan “segala puji”, padahal hanya terdiri dari satu kalimat (kata/ red), yaitu kalimat isim (kata benda). Lapadz itu asalnya hamdu, sebagai bentuk mashdar dari fi’il (kata kerja) hamida-yahmadu-hamdan. Hamdu artinya pujian—bisa diartikan puji tapi bukan untuk menunjukan kata kerja melainkan nama pekerjaan.
Terlahirnya makna “segala puji” dari lapadz alhamdu, itu karena keberadaan alif lam. Tadinya kata hamdu hanya berarti puji untuk satu konotasi yang masih umum. Misalnya, hamdun li Ahmad, artinya pujian untuk Ahmad. Pengertian pujian itu bukan mencakup segala puji, misalnya karena Ahmad pintar, atau soleh, atau ganteng barangkali atau bahkan karena dia baik dan lain sebagainya. Pujian yang tertuju pada Ahmad tidak universal, hanya saja masih bersifat umum.
Berbeda ketika mengucapkan alhamdu, yaitu lapadz hamdu yang telah dibubuhi alif lam. Pada kata itu bisa diartikan “segala puji”, sebab alif lam yang ditambahkan pada lapadz hamdu itu mempunyai makna istighrok, artinya menyeluruh atau universal. Keseluruhan yang dimaksud dalam istighrok itu mencakup segala hal termasuk jenis dan turunannya. Dalam konteks puji, berarti mencakup segala puji, baik yang lahir dari ucapan, perbuatan, sifat, atau Dzatnya itu sendiri, atau bahkan dari ciptaan-Nya. Pokoknya seluruh kata yang berkonotasi positif terhadap suatu pujian—bukan untuk merendahkan (ironi)—itulah segala puji yang dimaksud dalam lapadz alhamdu.
Berarti, seandainya dikatakan alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Maka, segala sesuatu yang bersifat pujian itu tertuju pada Allah SWT, termasuk apabila pujian itu diucapkan seseorang untuk orang lain. Apapaun alasan seseorang bisa melahirkan suatu pujian terhadap orang lain, selama konotasi pujian itu positif, maka sesungguhnya pujian itu tidak bisa kena terhadap orang itu. Sebab, segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Ini berarti, seseorang tidak pantas memuji orang lain dan dia juga tidak berhak menerima pujian itu, apalagi diakui bahwa puji itu miliknya.
Jika dikaitkan dalam masalah tauhid. Apabila seseorang mengakui pujian yang tertuju padanya, itu sama saja mengakui milik Allah SWT. Seseorang bisa merasa memiliki adanya kedekatan dengan Allah SWT, tapi bukan artinya mengakui milik-Nya. Hal itu sama saja dia mengakui sebagai Tuhan, karena merasa pantas mendapatkan puji. Padahal jelas-jelas hanya Allah yang pantas mendapatkan segala puji.
Dilarang memuji orang lain, itu juga bukan artinya kita harus merendahkannya, manusia tetap harus saling menghargai. Jika memang dia mempunyai jasa pada orang lain, sudah sepantasnya orang itu mengucapkan terimakasih sebagai ungkapan penghargaan terhadap jasanya. Kebiasaan menghargai orang lain secara berlebihan bak mendewakan dengan suatu pujian, itu berbahaya. Karena, hal itu bisa menumbuhkan rasa “besar kepala” atau perasaan bahwa seseorang kedudukannya bisa lebih tinggi dari yang lainnya.
Penghargaan yang diberikan itu harus sepantasnya, jangan berlebihan dan jangan pula menguranginya. Jika memang seseorang pantas mendapatkan ucapan yang baik, maka katakanlah. Atau, jika memang lebih dari ucapan, misalnya diberikan suatu hadiah, itu juga harus dilakukan jika memang pantas. Karena sebagaimana di atas, “penghargaan” juga bisa melahirkan suatu pujian. Maka harus dilakukan dengan layak dan ditujukan pada objek yang sesuai.
Jika seseorang mendapatkan puji, hal yang harus dilakukan adalah mengembalikan pujian itu pada Pemiliknya, yakni Allah SWT. Caranya—sebagaimana telah umum dimasyarakat kita—yaitu dengan mengucapkan alhamdulillah. Karena, disamping alif lam itu bermakna istighrok, huruf alif dan lam pada lapadz alhamdu juga sebagai cirri makrifat. Artinya untuk mengkhusukan kepada siapa pujian itu seharusnya dituju dan apa pujiannya. Misalnya kata “Kamu cantik” (ini benar-benar dikatakan untuk memuji). Nah, untuk mengembalikan pujian itu pada pemiliknya, kita katakan, “alhamdulillah”. Dengan adanya alif lam itu kata alhamdulillah konotasinya akan jelas, yaitu, saya memuji Allah—atau “suatu” puji bagi Allah—karena Dia telah menciptakan kecantikan.
Di atas tidak menggunakan kata “segala” sebab yang dimaksud adalah bentuk satu pujian kepada Allah karena Dia telah menciptakan kecantikan. Hal itu hanya untuk menspesifikasikan kemakrifatan (kekhususan) ali lam pada kalimat alhamdulillah, yakni Allah mendapat pujian sebab Dia telah menciptakan kecantikan itu.
Contoh yang lain, “Kamu baik”. Kita jawab alhamdulillah. Makna apa yang dimaksud dengan mengucapkan alhamdulillah dalam kasus tersebut? Yaitu, segala puji untuk Allah sebab Dia telah menciptakan kebaikan untuk kita, dan juga memberi kesempatan untuk berbuat baik, tentunya juga kekuatan sehingga kita bisa melakukan kebaikan atau alasan lainnya yang bisa melahirkan pujian. Di sini menggunakan kata “segala”, sebab yang ditujunya Allah dan alasan lahirnya pujian itu banyak.
Jadi, sebagai manusia kita jangan mengharap segala sesuatu karena ingin mendapat puji. Hal itu merugikan, disamping akan meleburkan pahala ibadah (jika merasa puji itu miliknya) juga akan membuat orang lain tidak menyukai kita, mungkin terkesan sombong atau merasa diri lebih baik dari orang lain. Selain itu, jangan pula terlalu berlebihan memuji orang lain. Menghormati dan menghargai orang lain memang harus, tapi tidak untuk mendewakan sehingga terkesan dia lebih tinggi derajatnya dari kita. Di hadapan sang Kholik semua manusia derajatnya sama, maka tak wajar manusia merendahkan atau meninggikan derajat yang lain dengan alasan menerima atau memberi pujian. Wallahu A’lam.
“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”
Q.S. al-Fatihah: 2
Lapadz “alhamdu” (di tulis dalam bahasa Arab), selalu dihartikan “segala puji”, padahal hanya terdiri dari satu kalimat (kata/ red), yaitu kalimat isim (kata benda). Lapadz itu asalnya hamdu, sebagai bentuk mashdar dari fi’il (kata kerja) hamida-yahmadu-hamdan. Hamdu artinya pujian—bisa diartikan puji tapi bukan untuk menunjukan kata kerja melainkan nama pekerjaan.
Terlahirnya makna “segala puji” dari lapadz alhamdu, itu karena keberadaan alif lam. Tadinya kata hamdu hanya berarti puji untuk satu konotasi yang masih umum. Misalnya, hamdun li Ahmad, artinya pujian untuk Ahmad. Pengertian pujian itu bukan mencakup segala puji, misalnya karena Ahmad pintar, atau soleh, atau ganteng barangkali atau bahkan karena dia baik dan lain sebagainya. Pujian yang tertuju pada Ahmad tidak universal, hanya saja masih bersifat umum.
Berbeda ketika mengucapkan alhamdu, yaitu lapadz hamdu yang telah dibubuhi alif lam. Pada kata itu bisa diartikan “segala puji”, sebab alif lam yang ditambahkan pada lapadz hamdu itu mempunyai makna istighrok, artinya menyeluruh atau universal. Keseluruhan yang dimaksud dalam istighrok itu mencakup segala hal termasuk jenis dan turunannya. Dalam konteks puji, berarti mencakup segala puji, baik yang lahir dari ucapan, perbuatan, sifat, atau Dzatnya itu sendiri, atau bahkan dari ciptaan-Nya. Pokoknya seluruh kata yang berkonotasi positif terhadap suatu pujian—bukan untuk merendahkan (ironi)—itulah segala puji yang dimaksud dalam lapadz alhamdu.
Berarti, seandainya dikatakan alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Maka, segala sesuatu yang bersifat pujian itu tertuju pada Allah SWT, termasuk apabila pujian itu diucapkan seseorang untuk orang lain. Apapaun alasan seseorang bisa melahirkan suatu pujian terhadap orang lain, selama konotasi pujian itu positif, maka sesungguhnya pujian itu tidak bisa kena terhadap orang itu. Sebab, segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Ini berarti, seseorang tidak pantas memuji orang lain dan dia juga tidak berhak menerima pujian itu, apalagi diakui bahwa puji itu miliknya.
Jika dikaitkan dalam masalah tauhid. Apabila seseorang mengakui pujian yang tertuju padanya, itu sama saja mengakui milik Allah SWT. Seseorang bisa merasa memiliki adanya kedekatan dengan Allah SWT, tapi bukan artinya mengakui milik-Nya. Hal itu sama saja dia mengakui sebagai Tuhan, karena merasa pantas mendapatkan puji. Padahal jelas-jelas hanya Allah yang pantas mendapatkan segala puji.
Dilarang memuji orang lain, itu juga bukan artinya kita harus merendahkannya, manusia tetap harus saling menghargai. Jika memang dia mempunyai jasa pada orang lain, sudah sepantasnya orang itu mengucapkan terimakasih sebagai ungkapan penghargaan terhadap jasanya. Kebiasaan menghargai orang lain secara berlebihan bak mendewakan dengan suatu pujian, itu berbahaya. Karena, hal itu bisa menumbuhkan rasa “besar kepala” atau perasaan bahwa seseorang kedudukannya bisa lebih tinggi dari yang lainnya.
Penghargaan yang diberikan itu harus sepantasnya, jangan berlebihan dan jangan pula menguranginya. Jika memang seseorang pantas mendapatkan ucapan yang baik, maka katakanlah. Atau, jika memang lebih dari ucapan, misalnya diberikan suatu hadiah, itu juga harus dilakukan jika memang pantas. Karena sebagaimana di atas, “penghargaan” juga bisa melahirkan suatu pujian. Maka harus dilakukan dengan layak dan ditujukan pada objek yang sesuai.
Jika seseorang mendapatkan puji, hal yang harus dilakukan adalah mengembalikan pujian itu pada Pemiliknya, yakni Allah SWT. Caranya—sebagaimana telah umum dimasyarakat kita—yaitu dengan mengucapkan alhamdulillah. Karena, disamping alif lam itu bermakna istighrok, huruf alif dan lam pada lapadz alhamdu juga sebagai cirri makrifat. Artinya untuk mengkhusukan kepada siapa pujian itu seharusnya dituju dan apa pujiannya. Misalnya kata “Kamu cantik” (ini benar-benar dikatakan untuk memuji). Nah, untuk mengembalikan pujian itu pada pemiliknya, kita katakan, “alhamdulillah”. Dengan adanya alif lam itu kata alhamdulillah konotasinya akan jelas, yaitu, saya memuji Allah—atau “suatu” puji bagi Allah—karena Dia telah menciptakan kecantikan.
Di atas tidak menggunakan kata “segala” sebab yang dimaksud adalah bentuk satu pujian kepada Allah karena Dia telah menciptakan kecantikan. Hal itu hanya untuk menspesifikasikan kemakrifatan (kekhususan) ali lam pada kalimat alhamdulillah, yakni Allah mendapat pujian sebab Dia telah menciptakan kecantikan itu.
Contoh yang lain, “Kamu baik”. Kita jawab alhamdulillah. Makna apa yang dimaksud dengan mengucapkan alhamdulillah dalam kasus tersebut? Yaitu, segala puji untuk Allah sebab Dia telah menciptakan kebaikan untuk kita, dan juga memberi kesempatan untuk berbuat baik, tentunya juga kekuatan sehingga kita bisa melakukan kebaikan atau alasan lainnya yang bisa melahirkan pujian. Di sini menggunakan kata “segala”, sebab yang ditujunya Allah dan alasan lahirnya pujian itu banyak.
Jadi, sebagai manusia kita jangan mengharap segala sesuatu karena ingin mendapat puji. Hal itu merugikan, disamping akan meleburkan pahala ibadah (jika merasa puji itu miliknya) juga akan membuat orang lain tidak menyukai kita, mungkin terkesan sombong atau merasa diri lebih baik dari orang lain. Selain itu, jangan pula terlalu berlebihan memuji orang lain. Menghormati dan menghargai orang lain memang harus, tapi tidak untuk mendewakan sehingga terkesan dia lebih tinggi derajatnya dari kita. Di hadapan sang Kholik semua manusia derajatnya sama, maka tak wajar manusia merendahkan atau meninggikan derajat yang lain dengan alasan menerima atau memberi pujian. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar